Jumat, 18 Februari 2011

Penerapan Ilmu Matematika dalam Psikologi

Disebut-sebut bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang ‘behavior’ yang mengurusi masalah seseorang secara individu dengan mengunakan sistem tanya jawab (kata-kata), sedangkan matematika adalah ilmu hitung yang pasti dan selalu berhubungan dengan angka. Ya, semua itu benar, kemudian bagaimana menerapkan ilmu matematika ke dalam ilmu psikologi?

Di dalam penelitian psikologi, perhitungan matematika pasti ada dan digunakan, walaupun mungkin hanya dalam kategori perhitungan sederhana. Misalnya psikologi akan meneliti “pengaruh MSG (monosodium glutamat) pada tingkat kecerdasan anak”. Disini kita perlu mencari tahu, batas dosis aman MSG, contohnya dalam X gram makanan, maksimal MSG yang terkandung X gram. Atau kita dapat membuat grafik yang menunjukkan pengaruh tersebut. Anak yang kesehariannya selalu mengonsumsi MSG tingkat IQ nya pasti lebih rendah dibandingkan teman-temannya yang tidak mengonsumsi MSG. 
            Begitu fleksibelnya ilmu matematika, bahkan saat mempelajari ilmu sosial pun kita memerlukan perhitungan matematika. Psikolog perlu mengelompokkan data-data saat membantu memecahkan masalah pasien mereka. Pengelompokan ini dapat berupa himpunan-himpunan, seperti himpunan anak yag takut gelap dan bagaimana penyelesaiannya, himpunan anak yang tidak suka menulis serta apa yang menjadi penyebabnya. Penyebab itu  misalnya berupa trauma, atau si orang tua tidak pernah memberi pujian akan hasil karyanya, semua itu akan terasa lebih mudah jika kita membuatnya dalam bentuk tabel atau grafik, atau dapat pula kita tuliskan seperti notasi himpunan pada matematika.

Contoh :
A= { penakut, pintar, manja, pendiam}
B= { pendiam, mandiri, pintar, emosional}

Kita dapat gambarkan menjadi

A B = { penakut, pintar, manja, pendiam, mandiri, emosional }
A B =  { pendiam, pintar }

Dari dua himpunan sifat-sifat seseorang diatas, kita lihat bahwa ada kesamaan sifat diantara dua orang, yaitu si A dan si B sama-sama memiliki sifat “pendiam dan pintar”. Disini kita akan mengkaji kasus tersebut dengan berpedoman pada teori empirisme atau teori tabularasa yang dikemukakan oleh John Locke, yaitu “perkembangan seseorang ditentukan oleh pengalaman-pengalaman (empiri) yang diperoleh selama perkembangan individu. (sumber: psikologi umum 1, B.P Dwi Riyanti, Hendro Prabowo, Ira Puspitawati)”
             Jadi disini, kedua individu selama hidupnya mungkin pernah mengalami suatu kejadian yang sama atau memiliki hobi serta lingungan tempat tinggal yang relatif tidak berbeda. Contoh, keduanya adalah anak dari keluarga ‘broken home’ jadi karena tekanan batin keduanya cenderung pendiam dan suka menyendiri, dan karena keadaan itu keduanya lebih suka mnghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca buku atau menyendiri di laboratorium untuk membuktikan teori-teori yang pernnah ia baca sebelumnya. Menurut saya, hal semacam ini lumrah saja terjadi diantara dua orang sama sekali tidak saling mengenal.

            Dengan ini, psikolog akan lebih mudah dalam menangani dua kasus, dan ternyata memang benar, kedua pasiennya adalah anak broken home.

Peranan Ilmu Matematika dalam Psikologi


Penerapan Ilmu Matematika dalam Psikologi

Disebut-sebut bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang ‘behavior’ yang mengurusi masalah seseorang secara individu dengan mengunakan sistem tanya jawab (kata-kata), sedangkan matematika adalah ilmu hitung yang pasti dan selalu berhubungan dengan angka. Ya, semua itu benar, kemudian bagaimana menerapkan ilmu matematika ke dalam ilmu psikologi?

Di dalam penelitian psikologi, perhitungan matematika pasti ada dan digunakan, walaupun mungkin hanya dalam kategori perhitungan sederhana. Misalnya psikologi akan meneliti “pengaruh MSG (monosodium glutamat) pada tingkat kecerdasan anak”. Disini kita perlu mencari tahu, batas dosis aman MSG, contohnya dalam X gram makanan, maksimal MSG yang terkandung X gram. Atau kita dapat membuat grafik yang menunjukkan pengaruh tersebut. Anak yang kesehariannya selalu mengonsumsi MSG tingkat IQ nya pasti lebih rendah dibandingkan teman-temannya yang tidak mengonsumsi MSG.

            Begitu fleksibelnya ilmu matematika, bahkan saat mempelajari ilmu sosial pun kita memerlukan perhitungan matematika. Psikolog perlu mengelompokkan data-data saat membantu memecahkan masalah pasien mereka. Pengelompokan ini dapat berupa himpunan-himpunan, seperti himpunan anak yag takut gelap dan bagaimana penyelesaiannya, himpunan anak yang tidak suka menulis serta apa yang menjadi penyebabnya. Penyebab itu  misalnya berupa trauma, atau si orang tua tidak pernah memberi pujian akan hasil karyanya, semua itu akan terasa lebih mudah jika kita membuatnya dalam bentuk tabel atau grafik, atau dapat pula kita tuliskan seperti notasi himpunan pada matematika.

Contoh :
A= ( penakut, pintar, manja, pendiam)
B= ( pendiam, mandiri, pintar, emosional)

Kita dapat gambarkan menjadi

A U B = (penakut, pintar, manja, pendiam, mandiri, emosional)
A n B = ( pendiam, pintar)

            Dari dua himpunan sifat-sifat seseorang diatas, kita lihat bahwa ada kesamaan sifat diantara dua orang, yaitu si A dan si B sama-sama memiliki sifat “pendiam dan pintar”. Disini kita akan mengkaji kasus tersebut dengan berpedoman pada teori empirisme atau teori tabularasa yang dikemukakan oleh John Locke, yaitu “perkembangan seseorang ditentukan oleh pengalaman-pengalaman (empiri) yang diperoleh selama perkembangan individu. (sumber: psikologi umum 1, B.P Dwi Riyanti, Hendro Prabowo, Ira Puspitawati)”.

            Jadi disini, kedua individu selama hidupnya mungkin pernah mengalami suatu kejadian yang sama atau memiliki hobi serta lingungan tempat tinggal yang relatif tidak berbeda. Contoh, keduanya adalah anak dari keluarga ‘broken home’ jadi karena tekanan batin keduanya cenderung pendiam dan suka menyendiri, dan karena keadaan itu keduanya lebih suka mnghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca buku atau menyendiri di laboratorium untuk membuktikan teori-teori yang pernnah ia baca sebelumnya. Menurut saya, hal semacam ini lumrah saja terjadi diantara dua orang sama sekali tidak saling mengenal.

            Dengan ini, psikolog akan lebih mudah dalam menangani dua kasus, dan ternyata memang benar, kedua pasiennya adalah anak broken home.